Isu perempuan belum menjadi prioritas program dari para kandidat Pilkada 2024 di Papua. Para kandidat gubernur, wali kota dan bupati lebih mengusung isu-isu politik tradisional. Jumlah pemilih perempuan yang besar, tidak menjadikan perempuan sebagai kantong suara potensial bagi para kandidat.
Imelda Yosua mengaku tidak memilih saat pemilu 2024 lalu. Mahasiswi tingkat akhir Universitas Cenderawasih itu mengaku pada pemilihan kepala daerah lalu dirinya sedang di Jayapura mengikuti pelatihan. Ia tidak balik ke rumahnya untuk mengikuti memilih pada Pemilu 2024.
“Tra tahu kaka e, sa tidak tahu mau memilih siapa. Selama kampanye dan debat saya juga tidak mendengar program apa yang akan Cagub buat Perempuan,” kata Imelda yang hampir tiga tahun ini aktif dalam gerakan perempuan.
Demikian juga dengan Wangi. Mahasiswi tingkat akhir ini juga merasa tidak tersosialisasi dengan baik program tentang Perempuan selama kampanye yang membuat dirinya enggan memilih saat Pilkada lalu. “Sa juga kaka. Saya tidak tahu mau pilih siapa, jadi sama saja tidak memilih ka,” katanya saat ditemui di Sentani Jumat, 13 Desember lalu.
Walaupun menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua, untuk Pemilu 2024 mencatat 48,9% pemilih Perempuan dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) 750.959 pemilih, namun isu atau topik Perempuan dalam kampanye ataupun dalam tiga kali debat calon gubernur Papua, maupun Wali Kota Jayapura tidak menjadi isu penting yang dibicarakan.
Dalam tiga kali debat pasangan calon (Paslon) Gubernur Papua yang digelar pada 22 Oktober, 8 November dan 21 November 2024, hanya ada satu pertanyaan mengenai isu Perempuan, yaitu pada debat pertama mengenai pernikahan dini yang terangkum dalam pertanyaan rendahnya partisipasi Pendidikan karena masalah sosial. Jawaban Paslon lebih pada bantuan pendidikan atau penyelesaian masalah ekonomi dibanding masalah sosial.
Sedangkan pada tiga kali debat pasangan calon wali kota dan wakil Wali Kota Jayapura, pertanyaan menohok mengenai isu Perempuan ada pada debat ketiga mengenai kebijakan untuk kota layak anak dan perempuan dan disabilitas yang inklusi dalam kesetaraan gender. Menjawab pertanyaan ini, empat paslon menjawab dengan bantuan dan pelatihan. Namun satu Paslon menambahkan dengan kebijakan pemberian kesempatan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin, termasuk kesempatan menjadi pejabat bagi ASN Perempuan dan satu palson lainnya menjanjikan ruang perlindungan ibu dan fasilitas konseling yang gratis, bantuan hukum gratis bagi kasus kekerasan perempuan dan anak.
Program-program bantuan yang menarik bagi pemilih namun tidak menyelesaikan masalah ekonomi maupun sosial di Papua justru jadi pembicaraan yang kerap dibicarakan dalam tiga debat Paslon gubernur dan Wali Kota Jayapura, misalnya peningkatan insentif ASN, RT/RW, dan tokoh agama hingga program naik haji, dan ke Yerusalem gratis bagi tokoh agama.
Koordinator West Papua Feminist Forum (WPFF) menilai isu perempuan Papua masih banyak menghadapi kendala politik pada pemilu 2024. “Isu perempuan dianggap sebagai agenda sekunder yang kurang memiliki daya tarik politik.”
Para kandidat lebih menonjolkan isu-isu yang dianggap menarik perhatian publik luas, seperti pemberian bantuan Pendidikan, peningkatan dan perbaikan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, keamanan dan komitmen terhadap negara kesatuan Republik Indonesia. Menurut Ester hal itu disebabkan karena kurangnya media membahas soal isu perempuan, dan juga advokasi terhadap isu perempuan membuat isu perempuan terus menjadi isu sekunder.
Di Minimnya jumlah politikus Perempuan juga menyebabkan pembicaraan isu perempuan di dunia politik jadi sangat minim. “Laki-laki tidak mengerti apa urgensinya ketika kita bicara tentang pendidikan perempuan. Di isu lingkungan, saat kita bicara tentang relasi hutan dengan perempuan, atau kebijakan-kebijakan lainnya. Dia [laki-laki] tidak akan mengerti itu. Apalagi hubungannya dengan misalnya pengasuhan anak. Itu kenapa ruang-ruang itu harus ada untuk perempuan,” katanya saat ditemui di Jayapura Sabtu (7/12/2024).
Iklim politik di Tanah Papua masih minim memberikan kesempatan bagi perempuan untuk terlibat aktif, apalagi menduduki posisi pemimpin dan pengambil keputusan dalam partai di tingkat daerah atau cabang.
“Akibatnya anggota legislatif Perempuan di Tanah Papua jumlahnya bahkan di bawah 20 persen,” kata Ester.
Padahal sudah banyak payung hukum yang melindungi perempuan, mulai dari Konstitusi, UU 7/1984 tentang Konvensi CEDAW, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, hingga UU Pemilu.
Ester melihat Pemilu 2024 sebagai kemunduran keterwakilan perempuan melalui praktik pengaturan kebijakan KPU yang tidak mendukung penegasan keterwakilan perempuan pada calon. Akibatnya jumlah legislatif perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Kabupaten/kota (DPRK) tidak meningkat dari sebelumnya.
Misalnya anggota DPRP 2024 yang hanya 17 persen. Di Tingkat DPR Kabupaten/kota di Tanah Papua, Kota Jayapura memiliki persentase tertinggi yakni 17 persen anggota legislatif perempuan dan Kabupaten Keerom dengan persentase anggota legislatif Perempuan terendah yaitu 10 persen atau 2 perempuan dari 20 anggota terpilih.
“Semakin sedikit perempuan, semakin sedikit kemampuan kita untuk mengadvokasi atau minimal membawa isu-isu Perempuan ke ruang-ruang di Parlemen yang kemudian menjadi kebijakan publik,” katanya.
Sampai saat ini masih terdapat penolakan dan hambatan sosial, budaya, dan politik, baik di tingkat partai politik, negara, dan masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan.
“Sampai Pemilu 2024, Partai membutuhkan 30 persen, itu hanya untuk meloloskan partai, untuk ikut Pemilu. Tapi kan dia tidak berpikir bahwa perempuan harus mewakili suara partai di dalam situ, dia tidak berpikir begitu.”
Sedangkan kepentingan Perempuan untuk masuk ke Parlemen, untuk mengubah hal-hal yang fundamental, “Karena semua hal yang dipikirkan Perempuan itu tidak mewakili dapur kepentingan sendiri,” katanya
Apalagi pada Pemilu yang menggunakan sistem noken atau ikat seperti yang berlaku di Provinsi Papua Pegunungan maupun di Provinsi Papua Tengah. Kemungkinan Perempuan untuk terpilih duduk sebagai anggota legislatif atau bupati bahkan Gubernur sangatlah sulit. Dalam pemilihan melalui sistem ikat mereka yang terpilih harus mendapat persetujuan para tokoh dari tingkat kampung, distrik, kabupaten hingga provinsi. Tak heran hingga saat ini belum ada Perempuan Papua di Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah yang dicalonkan maju dalam sebagai paslon bupati atau gubernur.
“Dari pengalaman saya, yang saya perhatikan, perempuan-perempuan yang naik di parlamen ini orang-orang yang tidak pernah duduk [bicara isu perempuan]. Tidak lahir dari kelompok-kelompok yang kritis. Itu kebanyakan politik Nepotisme,” katanya.
Sistem patriarki yang menjadi hambatan utama isu perempuan juga diakui oleh Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar. Kuatnya sistem patriarki yang terjadi dari dulu sampai saat ini mengakibatkan jumlah legislator Perempuan sangat minim di dewan perwakilan Papua.
Anum Siregar mengatakan undang-undang partai politik yang mengatur kuota 30 persen tidak menjamin peningkatan jumlah anggota legislatif perempuan.
“Jadi kuota perempuan 30 persen itu tidak membantu dan hanya membohongi perempuan saja,” katanya.
Kuota 30 persen yang berlaku selama ini hanya mengatur soal kepengurusan dalam partai politik, pencalonan calon legislatif, dan tidak mengatur kursi di parlemen. “Jadi regulasi itu tidak memihak pada perempuan. mengapa terjadi seperti itu, karena parlemen dikuasai oleh laki-laki dan isu-isu perempuan dianggap tidak menarik oleh laki-laki.”
Isu perempuan dianggap isu non politis di parlemen menjadi isu kedua, atau ketiga. Jadi dalam membuat keputusan, tidak ada perspektif sama sekali.
Untuk menolong perempuan, Anum meminta pemerintah harus membuat regulasi yang mengharuskan 30 persen Perempuan duduk di parlemen. “Karena sampai saat ini jumlah perempuan yang duduk di parlemen sangat memprihatinkan. Jangankan 30 persen, 20 persen, bahkan 10 persen pun nggak ada. Sulit mencapai 30 persen di parlemen.”
Ujicoba sangat disarankan, sebab bukan hanya Papua, dalam sejarah Indonesia hampir sulit mencapai 30 persen kursi di parlemen di dewan perwakilan provinsi atau kabupaten/kota. “Jadi harus ada regulasi yang benar-benar berkomitmen untuk keberpihakan terhadap perempuan untuk memperkuat peran politik perempuan.”
Selain regulasi, diperlukan juga pendidikan politik untuk perempuan untuk meningkatkan kapasitas perempuan, secara akademik maupun memahami aturan-aturan dengan baik.
Menurut Anum hal yang paling terpenting dari pendidikan politik itu adalah membangun kesadaran, keyakinan dan membangun kesadaran pada perempuan bahwa dia bukanlah dari bagian dari kelas dua, bukanlah di subordinat laki-laki, tetapi dia berperan sama, berperan seperti laki-laki, sejajar dengan laki-laki dalam memperjuangkan aspirasi politik, dalam memperjuangkan isu-isu bukan saja isu Perempuan.
“Kita harus ingat perempuan bukan hanya bicara isu perempuan, tetapi isu-isu pada umumnya,”
Memiliki jumlah anggota legislatif perempuan yang besar, kata Anum adalah sebuah kelebihan. Jika laki-laki mungkin hanya fokus pada isu-isu pada umumnya, anggota legislatif perempuan justru menangkap semua isu lebih komprehensif, semua masalah lebih komprehensif, lebih inklusif, karena perempuan mempertimbangkan semua aspek, kepentingan semua orang,
“Jadi harus ada regulasi, harus ada pendidikan untuk meningkatkan kapasitas, tapi juga memperkuat kesadaran dan keyakinan perempuan untuk berdiri sejajar dengan laki-laki beraktivitas di dunia politik,” katanya.
Dengan meningkatnya jumlah politisi perempuan di parlemen, diharapkan dapat melahirkan pimpinan daerah atau program pembangunan daerah yang lebih komprehensif dan bukan saja menyentuh permasalahan kesejahteraan, tetapi juga sosial yang menjadi akar permasalahan indeks Pembangunan manusia di Papua
Evaluasi dan pendidikan politik mengenai pentingnya keterlibatan Perempuan dalam politik, harus menjadi program jangka panjang, khususnya menghadapi Pemilu 2029. Karena jika suara keterwakilan perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap, kapan suara perempuan benar-benar didengar?. (*)