Sejak kuliah Usilina Epa (38), telah bermimpi memiliki sebuah rumah makan yang menjual makanan autentik Papua. Mimpi memperkenalkan kembali resep makanan autentik Papua seiring hilangnya makanan asli Papua dari warung hingga restaurant hotel Bintang 5 di Papua. Sedang makanan dari seluruh Nusantara hingga mancanegara membanjiri pasar kuliner di Papua.
“Landscape makanan di Jayapura ini didominasi oleh makanan yang bukan Papua. Jadi ketika orang datang ke Papua, Mereka bingung, apakah ini Papua ka? atau Sulawesi? atau Makassar? Ya karena isinya semua ikan-ikan bakar, dan segala macam yang bukan Papua punya,” kata Ulin saat ditemui di Isasai Restaurant and Venue, rumah makan miliknya yang menjual makanan autentik Papua di Kota Jayapura sejak 2022.
Jika 10 -15 tahun lalu kita ke Pasar Sentani, di Kabupaten Jayapura, kita masih bisa mendapatkan papeda bungkus, dan ikan, ikan gabus asar (asap). Kini tidak lagi. Ikan gabus asar hilang di pasaran, bersamaan dengan menurunnya populasi ikan gabus di danau Sentani, berganti dengan ikan-ikan baru seperti mujair, lele, nila dan ikan red devil. Ikan gabus atau Kha ebhe Hele dalam Bahasa Sentani adalah salah satu dari tiga ikan endemik Danau Sentani, kini semakin sulit didapatkan di pasar.
Isasai memiliki menu unggulan Gabus kuah hitam, Ikan gabus asar santan. Walau juga menjual makanan khas seperti gabus kuah kuning, sate ulat sagu, sayur genemo (daun melinjo) lilin (sayur tebu telur) santan, pisang rebus, keladi tumbuk, avela (sinole/dadarsagu), dan berbagai teh herbal asli papua seperti teh akway jahe, teh daun salam (salam khas Papua), dan Teh kayu masohoi atau Cinnamon Papua.
Memulai rumah makan berdasar resep nenek, dengan berjalannya waktu Ulin mulai belajar lebih dalam mengenai resep-resep dan bahan makanan asli Suku Sentani, suku dia berasal.
“Ternyata saya menemukan kita [suku Sentani] tuh punya banyak sekali jenis pisang di Sentani, dan hampir sebagian besar saya tidak pernah makan,” katanya.

Pemandangan senja di Isasai venue and cafe – Istimewa
Sebanyak 23 jenis pisang asli Sentani itu tidak lagi diminati sehingga tidak ditemui di pasar, tetapi masih tumbuh subur di kebun-kebun masyarakat kampung. Demikian juga dengan umbi-umbian khas Sentani seperti yara, siapu atau fam. “Jadi tidak bisa kita sajikan otomatis. Padahal saya inginnya, pas orang datang ke sini ke Isasae, mereka bukan makan satu jenis pisang, tetapi beberapa jenis.”
“Nah itu kenapa pemerintah tidak dorong agar bibit-bibit ini tuh dikembang biakan, lalu membanjiri pasar-pasar. Jadi ada masalah itu juga kakak,” katanya.
Ketidaktersediaan bahan pangan asli di pasar baik ikan, sumber karbohidrat seperti pisang dan syafu, mengakibatkan harga makanan Isasai lebih mahal dari rumah makan lainnya. Ia menjual paket 4 orang seharga Rp450.000. Hal itu membuat Ulin cukup sedih. “Di tempat lain, orang makan makanan khas itu bisa dari Rp10.000-Rp20.000. Jadi kalau untuk kita harus menjual makanan lokal dengan harga tinggi itu adalah sedih,” ungkapnya.
Tergerus karena Kebijakan
Penerima anugerajh kebudayaan, Chef Charles Toto mengatakan hilangan pangan lokal di Papua telah berlangsung cukup lama, bukan hanya di rumah makan, tetapi juga hilang dari meja makan keluarga asli Papua.
“Hampir semua makanan lokal itu tergerus dengan program swasembada beras berasal dari pemerintah. Program itu berlangsung cukup lama dan dan itu dan sudah sangat massif dan berlangsung lebih dari 20 tahun sehingga mempengaruhi kearifan lokal di seluruh Indonesia, termasuk Papua” katanya.
Namun mindset orang Papua sendiri bahwa semua yang dari luar itu baik dan kurangnya kepercayaan diri terhadap makanan tradisional, turut mempercepat proses-proses perubahan pola makan. “Akhirnya ketidakpercayaan itu berimbas pada resep-resep asli Papua, dan berimbas kepada pola makan dan kini itu bergeser sangat jauh,” katanya.
Dari pengalamannya berkecimpung dengan dunia kuliner tradisional Papua sejak tahun 1998, Papua sangat kaya raya dengan resep dan bumbu-bumbu yang dihasilkan oleh hutan. Namun tidak muncul sebagai hidangan unggulan di restaurant dan rumah-rumah makan karena kurangnya percaya diri orang Papua.Misalnya makanan asli Kampung Tobati, Kota Jayapura, Norhosori atau ikan gabus kuah hitam dari Sentani Kabupaten Jayapura.
Norhosori itu makanan berbahan dasar kerang kepah. Perempuan Kampung Tobati biasanya memisahkan daging kerang, lalu campur dengan sagu, kelapa, kemudian dicelup air garam lalu dibungkus kembali ke cangkang, dan masukan ke bambu, bakar.
Sedangkan ikan gabus kuah hitam atau Kha ebehele, adalah metode presto tradisional dengan bumbu garam yang disajikan Perempuan Sentani pada upacara-upacara adat seperti pelantikan hose, ondofolo perayaan keagamaan.
“Papua tidak sama seperti Indonesia lain. Papua tidak punya multi bumbu seperti di Indonesia lain.” Kata Chato, panggilan akrab Chato.
Menyajikan masakan autentik Papua dengan rasa yang sederhana, tentu menjadi tantangan tersediri bagi Isasai. “Kepada pembeli, saya selalu menjelaskan bahwa makanan khas Papua itu rata-rata rasanya sangat sederhana. Tidak terlalu tajam, tidak terlalu pedis. Rasanya itu sederhana, dicerna tubuh dengan sederhana, lebih sehat,” kata Ulin.
Ia mempersilahkan konsumen untuk menambahkan garam atau cabai jika menginginkan rasa yang lebih tajam. Namun Ulin tidak mengubah resep aslinya.
“Jadi itu bagian dari edukasi kita ke pelanggan juga. Misalnya baru minggu kemarin ada yang datang dari Surabaya mau coba ikan kuah hitam Sentani. Bumbunya kan cuma dua, daun bete (talas) dengan garam. Jadi pas saya kasih rasa, rasanya itu begini. Mereka menikmati pengalaman itu kakak. Karena ketika mereka datang ke sini memang mereka ingin mengalami pengalaman itu. Bukan mencari sesuatu yang sama dengan daerahnya,” jelasnya.
Selain menjual makanan, bagi Ulin, Isasai Restaurant and Venue juga memiliki misi penting lainnya. “Yang pertama tentu saja kita ingin kembali mengenalkan kita punya makanan. Tetapi bukan hanya ingin mengenalkan, Kita ingin agar masyarakat kembali bangga dengan apa yang dia miliki, dan kemudian mulai menanam. Mengelola, dan kemudian menyajikan makanan-makanan ini dalam keluarganya,” katanya.
Ulin juga bermimpi ada banyak tempat-tempat makan seperti Isasai yang berkembang di Kota Jayapura, dan kota-kota lainnya di seluruh Papua dengan merekrut anak-anak Papua dari berbagai wilayah adat di Papua. “Karena mimpi Isasai adalah mereka, anak-anak ini kalau keluar mereka bisa mau membagikan visi dan misi Isasai ini, kemudian memulai sendiri Isasai-Isasai yang sama di daerahnya masing-masing,”
Harapannya ketika orang pergi ke Wamena atau ke Biak atau Dogiyai. Mereka bukan ketemu warung-warung yang jual ayam es. “Saya jauh-jauh ke Mamberamo sampai sana makannya bakso, lalapan ayam. Wah kecewa sekali!” katanya.(*)